Bagai limau masam sebelah, seperti itulah hukuman yang diberikan
kepada koruptor saat ini. Bukan saja sangat ringan, jauh dari rasa keadilan,
namun juga tidak menimbulkan efek jera. Tidak hanya dilihat dari hukuman badan
yang relative hanya sebentar, namun juga hukuman denda yang sangat tidak
sepadan dengan kerugian yang diakibatkan.
Ketidakadilan
seperti itu jelas membawa dampak yang sangat buruk. Dilihat dari stereotip
public, rakyat jelas sangat dirugikan. Bayangkan, ketika tidak tahu-menahu
dengan polah para koruptor, pada saat itulah rakyat turut menanggung dampak
ikutan dari korupsi itu sendiri. Sedangkan ditelisik dari sudut pandang
koruptor, kondisi tersebut semakin menjauhkan dari efek jera. Koruptor tak
takut-takut lagi merampok uang rakyat, karena secara kalkulatif mereka masih
untung selepas dari jerusi besi.
Kondisi ini jelas
memprihatinkan. Selama ini pemberantasan korupsi khususnya dibidang penindakan
belum menghasilkan efek deterrence (penangkalan), karena tidak membuat
jera para pelaku. Apalagi, hukuman yang bersifat non-badan seperti denda, uang
pengganti, dan ongkos perkara, belum sepenuhnya merefleksikan dampak korupsi.
Sebagai contoh,
selama ini vonis bagi koruptor memang sudah menjatuhkan hukuman badan dan
hukuman denda, ditambah hukuman pengganti. Namun, kalau ditelisik, denda dan
hukuman pengantinya itu terbatas. Dan hamper sebagian besar koruptor yang
dikenai hukuman pengganti, ternyata tidak membayar hukuman pengganti. Mereka
lebih memilih ditahan. Inilah yang membuat hukuman bagi para koruptor belum
menghasilkan efek penangkalan.
Lebih jauh lagi
dikhawatirkan bahwa lemahnya efek hukuman terhadap koruptor justru membuat
tujuan dari pemidanaan tidak tercapai. Padahal, biaya yang dikeluarkan oleh
negara untuk memproses penegakan hokum terbilang mahal. Jika kondisi ini
didiamkan tergus menerus, maka sesungguhnya kita kehilangan dasar legitimasi
dan substansi untuk meneruskan pemberantasan korupsi yang efektif dan efisien.
Selain itu, ada
efek yang jauh lebih berbahaya bila kondisi ini dibiarkan, masyarakat akan lupa
bahwa korupsi merupakan pelanggaran terhadap hal-hak social dan hak-hak ekonomi
masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai
kejahatan biasa melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa (extraordinary
crime).
Layak Dimiskinkan
Memiskinkan
koruptor, pada akhirnya menjadi salah satu cara yang dianggap ampuh. Tidak hanya untuk mendapatkan rasa keadilan yang
selama ini seakan jauh panggang dari api, namun sekaligus untuk membuat efek
jera bagi para koruptor. Karena tesisnya, koruptor lebih takut miskin daripada
dipenjara.
Upaya memiskinkan
koruptor tentu tidak begitu saja mengemuka. Karena faktanya, selama ini rakyat
memang harus menanggung beban biaya social korupsi yang ditimbulkan oleh
kejahatan para tikus-tikus berdasi. Sangat tidak adil, ketika koruptor
berfoya-foya dari hasil kejahatannya, maka rakyat harus nenanggung beban biaya
social yang diakibatkan. Makanya, memang perlu mengembalikan beban itu kepada para
koruptor.
Biaya social itu
muncul karena terdapat ketidaksamaan antara vonis dengan kerugian yang
diakibatkan ulah koruptor. Selama ini dalam menentukan besaran hukuman denda,
pengadilan hanya melihat kerugian negara yang dikaibatkan perbuatan korupsinya.
Sedangkan dampak ikutan yang juga berimbas pada beban biaya, sama sekali tidak
dikalkulasi.
Akibatnya sudah
jelas, bahwa rakyat tak juga beranjak dari kemiskinan, fasilitas public yang
tetap terbengkalai, pendidikan yang tidak berpihak kepada rakyat, dan masih
banyak akibat ikutan yang semua bermuara
pada tetap terpuruknya bangsa ini.
Tantu saja sangat
memprihatinkan, karena biaya ikutan itu sendiri jauh lebih besar ketimbang
kerugian korupsinya. Sehingga pada akhirnya, negara pula yang harus membayar
beban tersebut. Dan jika demikian, maka rakyat pula yang akan terkena imbasnya,
karena beban biaya social itu harus diambil dari pajak yang dibayar rakyat.
Rakyat juga yang
harus menanggung beban tersebut melalui pajak yang dibayarnnya. Mereka adalah ibu-ibu
yang yang membeli sabun colet dan mie instan, anak-anak yang membeli permen,
dan orang tua yang membelikan anaknya obat dan susu kaleng.
Ketimpangan makin
menjadi-jadi. Setelah rakyat “dipaksa” membayar pajak, maka pajak yang
seharusnnya digunakan negara untuk menyejahterakan, malah dipergunakan untuk
menyubsidi kerugian yang diakibatkan ulah para koruptor.
Akibatnya sangat dahsyat. Masyarakat yang hidup di bawah garis
kemiskinan tetap tinggi, biaya pendidikan semakin mahal dan pelayanan public
tak kunjung membaik. Begitu pula dengan pelayanan kesehatan yang semakain
mencekik leher, dan banyak lagi cntoh
buruk akbat kejahatan koruptor. Kehidupan sekarang ini semakin sulut.
Bisa makan sehari dua kali saja sudah bersyukur. Sebagai pekerja serabutan, penghasilannya
yang rata-rata hanya Rp. 15.000,00 per hari memang sangat jauh dari kata
mencukupi. Sungguh, korupsi telah membuatnya tak bias menjauh dari garis
kemiskinan.
Pemberian “subsidi” dari rakyat kepada koruptor tersebut memang
menyesakkan. Apalagi pencantumam denda maksimal di UU DI Tipikor yang besarnya
Rp. 1 miliar, malah membuat efek jera menjadi lemah. Karena semakin tinggi
inflasi, semakin rendah nilai denda.
Untuk itu bahwasanya idealnya hukuman financial, yakni denda dan
biaya pengganti, harus disetarakan dengan besarnya biaya social korupsi.
Dan, memang seperti itulah jika menginginkan keadilan di negeri
ini. Mengembalikan beban biaya korupsi kepada koruptor adalah mengembalikan keadilan itu sendiri. Karena
prinsip siapa berbuat dia bertanggung jawab, siapa menanam dia yang akan
menuai, akan berlaku. Dan dengan demikian pula, maka akan memaksa koruptor
melihat bahwa sesunggunhya biaya korupsi yang diakibatkan ulah jahatnya jauh
lebih besar ketimbang uang yang dijarah.
Penerapan sanksi tambahan pembebanan biaya social korupsi, dapat
mempertajam sifat penjeraan untuk pelaku korupsi. Dampak dari penerapan biaya
social korupsi itu juga bias berdampak bagi masyarakat. Prevensi khusus bagi
pelaku korupsi agar jera dan prevensi umum bagi masyarakat agar tidak meniru
para koruptor.
Bias dihitung
Yang menjadi
pertanyaan selanjutnya dalah bagaimana biaya social tersebut dihitung. Selama
ini, para aparat penegak hokum hanya menghitung biaya kerugian yang ditimbulkan
dan biaya yang dikeluarkan untuk menangani kasus korupsi (biaya eksplisit).
Sedangkan biaya implisit belum dimasukan ke dalam perhitungan. Biaya implisit
ini merupakan dampak tindakan korupsi yang dilakukan para koruptor dan multipler
ekonmi yang hilang akibat alokasi sumber daya yang tidak tepat.
Hal tesebut memang
belum dikualifikasikan menjadi bagian dari tanggung jawab yang seharusnya
dipikul koruptor. Penyebabnya, bias jadi karena dalam undang-undang yang ada
sama sekali tidak megakomodir dampak korupsi sebagai bagian yang harus dipikul
oleh para pelaku korupsi.
Bagaimana pun,
pendekatan ini harus tetap dilakukan. Apalagi dalam penilaian penulis, korupsi
merupakan kejahatan yang bersifat kalkulatif. Seseorang yang korupsi pasti
sudah menghitung apakah hukuman (denda) yang dirterima lebih kecil atau lebih
besar dari uang yang ia dapatkan.
Dengan demikian,
maka ada tidak ada cara lain, kecuali dengan mempertimbangkan hukuman denda itu
tadi, yakni biaya ekplisit dan biaya implisit.
Sebagai contoh, runtuhnya sebuah jembatan yang mempunyai masa pakai
selama 50 tahun, ternyata sudah ambruk ketika baru berusia 10 tahu. Orang
kemudian menduga-duga, telah terjadi mark up dalam kasus itu. Jadi, yang dinilai berapa nilai mark
up-nya atau kerugian negara yang muncul dari kejadian itu. Hanya itu.
Karena orang tidak menghitung sisa 40 tahun dari masa pakai jembatan tersebut.
Ilustrasi lain, setelah disuap seorng bupati memberikan izin untuk
mengeksploitasi sumber daya alam. Akibatnya, terjadi kerusakan lingkungan.
Pertanyaan pertama, “Apakah kerusakan plasma nuftah hutan tersebut dihitung? Ternyata tidak.
Kemudian, karena kerusakan hutan juga mengakibatkan dampak bagi
masyarakat, maka hutan harus dikembalikan pada kondisi semula. Dan sudah pasti,
untuk mengembalikan pada kondisi awal, membutuhkan biaya rehabilitasi yang
tidak sedikit. Dan kerugian-kerugian tersebut bias hitung dan bisa dibebankan
kepada para koruptor.
Cari Metode Tepat
Upaya KPK untuk menerapkan pembebanan biaya social korupsi, tentu
tidak main-main. Hal ini terbukti, ketika dalam perkembangannya, KPK melakukan
Studi Biaya Sosial Korupsi. Salah satu tahapan yang dilakukan yaitu dengan
menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) mengenai Biaya Sosial
Korupsi. FGD dilakukan dengan mengundang berbagai pakar terkait konsep biaya
social korupsi dan bagaimana penerapannya di Indonesia.
Konsep biaya
sosial yang diperoleh melalui FGD kemudian diolah dengan teori Brand and
price. Dalam metodologi tersebut, maka biaya social kejahatan dapat diukur
dari tiga unsur. Ketiganya adalah biaya antisipasi, biaya akibat dan biaya
reaksi. Ketiga unsur tersebut relevan untuk diterapkan dalam menghitung biaya
social korupsi (social cost of corruption).
Pertama, biaya
antisipasi terhadap korupsi, yakni berapa banyak uang negara yang keluar untuk
mengantasi dan mencegah korupsi. Contohnya, ketika terjadi kasus korupsi yang
kemudian yang menjadi endemic di satu negara, maka negara biasanya membuat
kebijakan untuk mengatasi hal itu. Diperlukan biaya dan sumber daya manusia
untuk merumuskan kebijakan sampai menurunkannya menjadi unit kerja.
Kedua, biaya
akibat korupsi yakni kerugian yang ditanggung masyarakat akibat praktik
korupsi, baik eksplisit maupun implisit. Contohnya adalah dampak social
ekonomi, dampak investasi dan sebagainya. Biaya eksplisit akan dihitung oleh
BPK dan BPKP. Sedangkan biaya implisit,
yang akan dihitung adalah berapa nilai efek domino yang ditimbulkan oleh kasus
tersebut. Termasuk dalam hitungan pula, berapa banyak pengaruhnya terhadap
investasi sampai ekonomi makro, yaitu biaya.
Ketiga, biaya
reaksi yaitu biaya yang muncul sepanjang proses penyelesaian perkara. Mulai dari proses penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, sampai si koruptor masuk ke lembaga pemasyarakatan.
KPK saat ini
sedang meminta para ahli untuk mencari metode yang tepat untuk menerapkan biaya
sosial korupsi. Memang tidak bisa segera, tapi bukan tidak mungkin. Pasal 98
KUHP menyatakan bahwa satu bentuk pidana bisa digabungkan dengan perdata,
karena pihak yang menderita akibat korupsi bukan hanya Negara, melainkan juga
pihak ketiga.
Nah, dalam
konteks ini, jika hasilnya masih defisit, maka untuk jangka panjang barulah KPK
bisa menghitung sanksi biaya social. Dengan berbagai metode tersebut, maka
diyakini koruptor akan miskin dan menjadi jera.
0 comments:
Posting Komentar