BAB I
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Perkawinan
Salah
satu masa peralihan terpenting dalam kehidupan manusia adalah peralihan dari
masa remaja menuju masa dewasa dan berkeluarga yang ditandai dengan perkawinan.
Dibanding dengan masa peralihannya lainnya dalam kehidupan manusia, perkawinan
merupakan fase yang banyak memperoleh perhatian antropolog. Perkawinan sebagai
bagian unsur budaya yang universal ditemukan diseluruh kehidupan social.
Dipandang
dari sudut kebudayaan, perkawinan merupakan pengatur kelakuan manusia yang
bersangkut paut dengan kehidupan seksnya, ialah kelakuan-kelakuan seks terutama
persetubuhan (Koentjaraningrat, 1992). Dalam pengertian yang lain, perkawinan
merupakan suatu transaksi dan kontrak yang syah dan resmi antara seorang wanita
dengan seorang pria yang mengukuhkan hak mereka yang tetap untuk berhubungan
seks satu sama lain, serta menegaskan bahwa si wanita yang bersangkutan sudah memenuhi
syarat untuk melahirkan (William A Haviland, 1985). Sedangkan menurut Abd
Al-Rahman Al-Jaziri, perkawinan merupakan akad yang memberikan hak (keabsahan) kepada laki-laki
untuk memanfaatkan tubuh perempuan demi kenikmatan seksualnya[1].
B. Sistem Perkawinan Adat Sasak
Suku
Sasak adalah suku asli Pulau Lombok. Ada yang unik dari
tradisi dan adat-istiadat yang dimiliki oleh suku Sasak dari Pulau Lombok ini, khususnya tata cara
pernikahan suku Sasak Lombok. Tradisi unik ini berlangsung sebelum pernikahan
yang dilakukan oleh seorang pemuda yang disebut sebagai ‘Teruna’. Tradisi ini
mengharuskan para teruna menculik atau mencuri pasangannya secara diam-diam
tanpa sepengetahuan pihak keluarga perempuan. Jika dalam sehari semalam, gadis
tersebut tidak terdengar kabarnya maka dia dianggap sudah menikah.
Menurut adat istiadat suku Sasak,
cara ini dianggap lebih kesatria yakni dengan cara mencuri daripada dengan cara
meminta secara hormat kepada orang tua si gadis yang akan dinikahi tersebut.
Tetapi kita tidak bisa menganggap bahwa cara ini bisa dilakoni dengan mudah
yaitu dengan cara mencuri dan langsung menikah, tetap ada aturan yang harus
dipatuhi. Sebagai contoh, pencurian tersebut haruslah dilakukan pada malam hari
dan sang teruna harus membawa teman atau kerabat sebagai pengecoh dan saksi
serta pengiring supaya proses penculikan tidak terlihat oleh siapapun. Namun,
kalau terlihat maka sang Teruna harus dikenakan denda oleh pihak keluarga
perempuan ataupun desa. Setelah si gadis berhasil diculik, gadis tersebut tidak
boleh dibawa langsung ke rumah sang Teruna tetapi ke rumah kerabat laki-laki
terlebih dahulu. Setelah beberapa malam, keluarga kerabatnya tersebut akan
mengirimkan utusan untuk memberitahukan kepada keluarga pihak gadis bahwa anak
gadisnya telah diculik. Proses pemberitahuan ini disebut ‘nyelabar’. Dalam
proses ini pun terdapat beberapa peraturan yang harus dilakukan. Setelah semua
proses telah dilalui maka terjadilah pernikahan.
Sistem perkawinan yang dianut oleh
suku Sasak lebih mengarah ke sistem indogami. Bahkan di beberapa tempat,
terutama pada masa lampau, sistem indogami dilaksanakan secara ketat yang
kemudian melahirkan kawin paksa dan pengusiran (istilah sasaknya bolang)
terhadap “terutama” anak gadis. Walaupun kecenderungannya indogami namun sistem
eksogami tidak diharamkan oleh adat.
Namun perlu dicatat bahwa adat
perkawinan suku sasak, kalau boleh kami katakan, telah mengalami distorsi
disana sini. Hal ini akibat serbuan nilai-nilai baru, baik yang berasal dari
agama Islam maupun dari nilai-nilai barat. Walau demikian adat ini bukan
berarti hilang, ia masih bisa ditemukan di daerah-daerah yang masih kuat
menjalankan adat istiadatnya. Sebaliknya di daerah-daerah yang religius dan
modern berlakunya adat itu hanya sekedar formalitas belaka.
Sebenarnya terdapat tiga sistem
perkawinan Adat Sasak, yakni: (1) Perondongan, (2).Mepadik Lamar (melamar), (3)
Merarik atau Selarian (kawin lari)[2].
1. Perondongan (Perjodohan)
Perjodohan merupakan salah satu
bentuk perkawinan yang sering dilakukan oleh masyarakat adat Sasak di masa
lampau. Paling tidak ada 3 (tiga) alasan orang tua melakukan perjodohan pada
anak-anak mereka, yakni (1) untuk memurnikan keturunan dari sebuah keluarga,
biasanya keluarga keturunan bangsawan tidak mau darahnya bercampur dengan darah
orang lain yang bukan bangsawan atau terutama dari status sosialnya lebih
rendah, (2)untuk melanggengkan hubungan persahabatan antar kedua orang tua
mempelai, dan yang ke (3) karena alasan-alasan tertentu, diantaranya adalah
akibat kesewenang-wenangan rezim kolonial, dalam hal ini kolonial Jepang di
Lombok.
Semasa pendudukan Jepang seringkali
tentara Jepang mengambil gadis-gadis lokal secara paksa untuk dijadikan gundik.
Yang mereka ambil adalah perempuan yang belum memiliki suami atau perempuan
yang belum memiliki ikatan perjodohan. Karena itu masyarakat melakukan langkah
preventif dengan cara menjodohkan anak-anak perempuannya sejak masa
kanak-kanak. Perkawinan ini kemudian dikenal dengan nama “kawin tadong”. Kalau
sudah mendapatkan status perkawinan otomatis tentara Jepang tidak akan
mengambilnya.
Alasan yang pertama dan kedua
adalah alasan yang paling banyak ditemukan karena itu biasanya perjodohan
dilakukan di dalam garis kekerabatan (keluarga), misalnya antar sepupu, yang
dalam bahasa sasak disebut pisak (baca pisa’).
Perjodohan dimulai ketika masih dalam
usia kanak-kanak atau sering juga terjadi setelah mulai dewasa, yang dilakukan
berdasarkan kesepakatan orang tua semata.
Dalam perjodohan ini terdapat tiga
cara yang digunakan, yakni:
a. Setelah adanya kesepakatan antar orang tua
diadakanlah upacara pernikahan layaknya upacara pernikahan orang dewasa, namun
sekalipun mereka telah berstatus sebagai suami isteri mereka dilarang hidup
bersama sebagai suami isteri. Tempat tinggal mereka dipisahkan dan tetap
tinggal bersama orang tua masing-masing. Mereka akan dinikahkan dalam arti yang
sebenarnya kelak setelah memasuki usia dewasa (aqil baliq). Jadi dengan
pernikahan dini tersebut sesungguhnya anak-anak telah terikat dalam sebuah tali
perkawinan
b. Anak-anak tidak dinikahkan akan tetapi hanya
cukup dengan pertunangan. Esensinya sama dengan cara di atas, bahwa kelak
setelah dewasa anak-anak tersebut akan dikawinkan dengan perkawinan yang
sesungguhnya.
c. Anak-anak tidak dinikahkan juga tidak dilakukan
pertunangan, akan tetapi cukup diumumkan di publik bahwa anak mereka telah
dijodohkan. Anak-anak tersebut baru akan diberitahukan setelah mereka dianggap
dewasa.
Jika kelak anak yang telah
dikawinkan/dijidihkan ini menolak melanjutkan perkawinannya, orang tua akan
memaksa anak-anaknya untuk tetap melanjutkan perkawinan itu, hal kemudian
menimbulkan tradisi kawin paksa. Akan tetapi jika si anak tetap menolak maka
orang tua akan melakukan pengusiran ke desa tertentu. Pengusiran ini kemudian
disebut “bolang” = buang.
Untuk itu mekanisme pemingitan yang
merupakan pelarangan terhadap terutama kepada anak perempuan yang telah
dijodohkan atau yang telah dikawin tadong untuk keluar dari rumah. Mekanisme
ini kemudian melahirkan tradisi pingit. Dalam perkembangan selanjutnya sistem
pingit ini berlaku untuk seluruh anak gadis, baik yg telah berjodoh maupn yang
tidak dengan berbagai alasan.
Alasan pemingitan adalah (1) Agar
tidak dilarikan oleh laki-laki lain, (2). Menghindari terjadinya kasus-kasus
asusila pada si gadis yang nantinya akan membawa aib keluarga, Jadi tujuan
utamanya adalah melindungi kaum peremouan.
2. Kawin Lamar (Mepadik Lamar)
Sistem ini tidak jauh beda dengan
sistem lamar yang berlaku di tempat lain, bahwa setelah calon mempelai
bersepakat melakukan pernikahan, calon mempelai laki-laki akan memberitahukan
orang tuanya dan meminta dilamarkan ke orang tua si gadis. Cara melamar ini
dalam prakteknya sering sekali memerlukan waktu yang panjang, ribet dan
berliku-liku, sehingga sering sekali membuat rasa jenuh dan jengkel bagi
sepasang kekasih, yang bahkan tidak jarang berakhir dengan kegagalan. Karena
itu cara ini sangat tidak populer. Akan di masyarakat yang taat beragama dan
atau di masyarakat perkotaan sistem ini justeru lebih populer.
3. Merarik (Selarian)
Sistem ini adalah yang paling
populer, sekalipun mengandung bahaya namun cara ini adalah cara yang umum
dipergunakan oleh masyarakat Sasak sampai sekarang.
Merarik adalah sebuah langkah awal
dari suatu proses perkawinan yang panjang. Merarik sering dikonotasikan dengan
mencuri gadis (perempuan) dalam arti melarikan perempuan untuk dijadikan isteri
oleh laki-laki. Jadi perbuatan mencuri gadis bukan kejahatan
Filosofinya menurut pengertian yang
umum diketahui, merarik dalam persepsi masyarakat Sasak merupakan suatu bentuk
“penghormatan” kepada kaum perempuan. Bagi mereka, perempuan tidak bisa
disamakan dengan benda yang bisa di tawar-tawar atau diminta. Dikatakan bahwa
dengan melarikan gadis pihak laki-laki ingin menunjukkan keberanian dan
kesetiaannya sebagai calon suami yang siap mempertaruhkan nyawanya demi sang
calon isteri. Saat ini kata merarik secara praktis sudah menjadi “istilah” yang
artinya sama dengan “kawin”, tidak peduli dilakukan dengan cara kawin lari atau
melamar.
Dari
hasil wawancara yang dilakukan dengan saudara Gazali via telepon tentang salah
satu contoh proses pernikahan masyarakat sasak yang terdapat di Desa Gangga
Lombok Utara dia mengatakan bahwa ada keunikan dari prosesi pernikahan yang dilakukan. Prosesi
pernikahan akan dilakukan di atas Berugak dan dikelilingi oleh kerumunan
masyarakat. Pengantin laki-laki harus menjalankan prosesi dengan benar, jika
ada salah satu kesalahan yang dilakukan dan masyarakat mengucapkan ‘tidak sah’
maka harus diulang kembali sampai bisa.
Acara prosesi pernikahan suku Sasak Lombok ini
akan diiringi oleh musik tradisional asli Lombok yakni Gendang Beleq dan
sebagian menggunakan Kecimol. Iringan musik ini akan terus ditabuh hingga
menuju rumah pengantin perempuan. Pengiring pun tak jarang akan berjoged bahagia
dan mereka akan disambut oleh keluarga pengantin perempuan dengan jamuan
tradisional suku Sasak. Pada prosesi ini akan terasa haru karena pengantian
perempuan akan menangis di kaki orang tuanya karena selama proses mulai dari
penculikan dan prosesi Nyongkolang, pengantian perempuan tidak dapat bertemu
dengan orang tuanya.
BAB II
KESIMPULAN
Perkawinan merupakan pengatur kelakuan manusia yang bersangkut paut
dengan kehidupan seksnya, ialah kelakuan-kelakuan seks terutama persetubuhan. Suku
Sasak adalah suku asli Pulau Lombok. Ada yang unik dari
tradisi dan adat-istiadat yang dimiliki oleh suku Sasak dari Pulau Lombok ini, khususnya tata cara pernikahan
suku Sasak Lombok. Tradisi unik ini berlangsung sebelum pernikahan yang
dilakukan oleh seorang pemuda yang disebut sebagai ‘Teruna’. Tradisi ini
mengharuskan para teruna menculik atau mencuri pasangannya secara diam-diam
tanpa sepengetahuan pihak keluarga perempuan. Jika dalam sehari semalam, gadis
tersebut tidak terdengar kabarnya maka dia dianggap sudah menikah.
Sebenarnya terdapat tiga sistem perkawinan
Adat Sasak, yakni: Perondongan, Mepadik Lamar (melamar), Merarik atau Selarian
(kawin lari). Begitu banyak system perkawinan yang terdapat pada masyarakat
sasak tidak hanya satu system atau adat.
DAFTAR PUSTAKA
Pujileksono,
Sugeng, Pengantar Antropologi edisi revisi, PT Katalog Dalam Terbitan
(KTD), Malang, 2009.
http://lomboktourplus.com/blog/mengenal-adat-istiadat-pernikahan-suku-sasak-lombok/
0 comments:
Posting Komentar