gambar

Jumat, 17 Mei 2013

HERMENEUTIKA DALAM STUDI ISLAM (Farid Esack, al-Quran Liberalisme Dan Pluralisme: Membebaskan Yang Tertindas)

Posted by Unknown on 19.30


A. Pendahuluan
Farid Esack dilahirkan di Afrika Selatan, di Wynberg wilayah dengan pluralitas agama. Farid Esack memberikan kontribusi kontemporer berjudul Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspektive of Interreligious Solidarity againts Oppression (1997). Buku ini telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Al-Quran Liberalisme Dan Pluralisme: Membebaskan Yang Tertindas, mencoba memberikan tawaran pada umat islam dewasa ini, untuk melakukan reinterpretasi secara radikal terhadap istilah agama yang mengalami pembakuan dan pembekuan. Pembakuan dan pembekuan ini pada gilirannya akan kian mempersulit upaya mewujudkan keadilan. Karena itu, yang terjadi, istilah itu malah akan menjadi alat hegemoni baru satu komunitas atas komunitas lainnya. Iman, islam, kufr, menurut Esack merupakan istilah yang rawan menimbulkan kesenjangan, bahkan konflik sosial jika tak difahami secara dinamis.
Dalam makalah ini akan membahas metode hermeneutika yang dikembangkan olah Farid Esack, yaitu hermeneutika pembebasan, dengan kata-kata kunci yang dikembangkan dari aktivitasnya sebagai seorang intelektual yang berjuang melawan rezim apharteid di Afrika Selatan. Sebagai kata kuncinya adalah taqwa (integritas dan kesadaran yang berkaitan dengan kehadiran tuhan), tauhid (keesaan tuhan) an-nas (manusia atau rakyat), mustadh’afun fi al-ard (kaum tertindas dimuka bumi) adl dan qisth (keadilan) jihad (perjuangan dan praksis). Kunci tersebut digunakan untuk memperlihatkan bagaimana hermeneutika pembebasan al-Qur’an bekerja, dengan pergeseran yang senantiasa berlangsung antara teks dan konteks berikut dampaknya terhadap satu sama yang lain.
Disamping itu juga menjelaskan bagaimana kemungkinan untuk hidup dalam kepercayaan penuh terhadap al-Qur’an dan konteks kehidupan sekarang bersama-sama dengan kepercayaan-kepercayaan lain berkerjasama untuk membangun masyarakat yang lebih manusiawi dan egaliter. Esack mengembangkan gagasan hermeneutika al-Qur’an sebagai kontribusi bagi pengembangan pluralisme teologi dalam Islam, menguji cara al-Qur’an mendefinisikan diri (muslim) dan orang lain (non-muslim) dengan tujuan untuk menciptakan ruang bagi kebenaran. Esack mencoba melihat dari pemikiran Fazlur Rahman dan Arkoun.
Fazlur Rahman mengusulkan proses interpretasi yang melibatkan gerakan ganda (double movement). Mohammad Arkoun juga menawarkan pendekatan hermeneutik kontemporer. Arkoun menekankan pada dengan meminjam teori Paul Ricour “tiga level perkataan tuhan” retorika pembebasan al-Qur’an dalam suatu teori teologi dan hermeneutika pluralisme agama untuk pembebasan yang lebih koheren. Latar belakang Apartheid di Afrika Selatan kesulitan untuk mengeksplorasi kehidupan sosial di dalam interpretasi (eksplorasi al-Qur’an). Kehidupan social keagamaan tidak bisa dilepaskan dari Struktur social politik. Esack mengungkapkan Teologi pembebasan al-Qur’an bekerja menuju pembebasan agama dari struktur social, politik dan agama serta ide-ide yang didasarkan atas kepatuhan tanpa kritik dan pembebasan seluruh penduduk dari semua bentuk ketidakadilan dan eksploitasi termasuk gender, ras, kelas, dan agama.
Key words: Metodologi, Hermeneutika, Teologi Pembebasan.
B. Kegelisahan Akademik
Latar belakang Apartheid di Afrika Selatan kesulitan untuk mengeksplorasi kehidupan sosial di dalam interpretasi (eksplorasi di dalam al-Qur’an). Kehidupan sosial keagamaan tidak bisa dilepaskan dari Struktur sosial politik. Problem sebenarnya adalah bagaimana menerapkan pendekatan ini secara sadar pada arena sosio-politik atau domain moralitas publik dengan cara tertentu.
Dari kegelisahan akademik tersebut diatas, selanjutnya esack mencoba menyelami dan menawarkan kata-kata kunci hermeneutika penafsiran yang terdiri atas 6 hal. Kunci-kunci di atas juga digunakan untuk tujuan tertentu dan tersruktur, dua kunci pertama taqwa dan tauhid dimaksudkan sebagai pembangunan kriteria moral dan doktrinal yang akan menjadi lensa teologis dalam membaca al-Qur’an terutama teks-teks tentang pluralisme dan solidaritas antariman. Dua kunci berikutnya al-nas dan al-mustad’afuna fi al-ardh sebagai pengukuhan terhadap konteks atau lokasi aktifitas penafsiran, sedang dua kunci terakhir adl–qisth dan jihad merupakan refleksi dari metode dan etos yang menghasilkan dan membentuk pemahaman kontekstual tentang firman Tuhan dalam masyarakat yang diwarnai ketidakadilan.
C.Pentingnya Topik Penelitian
Konteks pembebasan dari seluruh bentuk rasisme dan eksploitasi ekonomi selama masa apartheid, Esack berusaha mengeksplorasi retorika pembebasan al-Qur’an dalam suatu teori teologi dan hermeneutika pluralisme agama untuk pembebasan yang lebih koheren. Teologi pembebasan al-Qur’an bekerja menuju pembebasan agama dari struktur sosial, politik dan agama serta ide-ide yang didasarkan atas kepatuhan tanpa kritik dan pembebasan seluruh penduduk dari semua bentuk ketidakadilan dan eksploitasi termasuk gender, ras, kelas, dan agama. Teologi pembebasan semacam ini berusaha mencapai tujuannya melalui partisipasi dan pembebasan.
D. Hasil Penelitian Terdahulu
Fazlur Rahman dalam bukunya Islam And Modernity mengusulkan proses interpretasi yang melibatkan gerakan ganda (double movement). Yaitu dari masa kini kembali periode al-Qur’an dan kembali kemasa kini, pertama memahami al-Qur’an sebagai keseluruhan perintah yang diturunkan untuk merespon suatu masyarakat atau situasi tertentu. Kajian ini dilakukan dalam dua tahapan (a) mempelajari kajian histories dan moral-etis mendahului kajian atas teks-teks al-Qur’an dalam situasi spesifik (b) generalisasi jawaban spesifik tersebut serta membungkusnya menjadi jawaban moral-siosial umum. Pergerakan kedua menerapkan tujuan umum yang diperoleh ke dalam konteks kehidupan masas kini .
Mohammad Arkoun juga menawarkan pendekatan hermeunetika kontemporer. Mohammed Arkoun mungkin orang yang secara tuntas mencoba menggunakan hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur’an. Untuk kepentingan analisisnya, Arkoun meminjam teori hermeneutika dari Paul Ricour, dengan memperkenalkan tiga level “perkataan Tuhan” atau tingkatan Wahyu. Pertama Wahyu sebagai firman Allah yang transenden, tak terbatas, yang tak diketahui oleh manusia, yaitu wahyu al-Lauh Mahfudz dan Umm al-Kitab. Kedua, Wahyu yang nampak dalam proses sejarah. Berkenaan dengan al-Qur’an, hal ini menunjuk pada realitas Firman Allah sebagaimana diturunkan dalam bahasa Arab kepada nabi Muhammad selama kurang lebih dua puluh tahun. Ketiga, Wahyu sebagaimana tertulis dalam Mushaf dengan huruf dan berbagai macam tanda yang ada di dalamnya. Ini menunjuk pada al-Mushaf al-Ustmani yang dipakai orang-orang Muslim hingga hari ini .
Namun, Esack berbeda dari keduanya ketika dia memberikan kunci-kunci penafsiran yang terdiri atas 6 hal. Kunci-kunci di atas juga digunakan untuk tujuan tertentu dan tersruktur; dua kunci pertama taqwa dan tauhid dimaksudkan sebagai pembangunan kriteria moral dan doktrinal yang akan menjadi lensa teologis dalam membaca al-Qur’an terutama teks-teks tentang pluralisme dan solidaritas antariman. Dua kunci berikutnya al-nas dan al-mustad’afuna fi al-ardh sebagai pengukuhan terhadap konteks atau lokasi aktifitas penafsiran, sedang dua kunci terakhir adl–qisth dan jihad merupakan refleksi dari metode dan etos yang menghasilkan dan membentuk pemahaman kontekstual tentang firman Tuhan dalam masyarakat yang diwarnai ketidakadilan.
Selain itu, Esack juga berbeda dengan penempatan posisi penafsiran. Dalam pola hermeneutika biasa, eksistensi teks dalam konteks (lokus penafsiran) ditentukan oleh “kuasi transformatif” yang mampu menggeser paradigma atau model cara baca terhadap teks. Akan tetapi, Esack justru menempatkan posisi sentral penafsiran pada teks partikular (prior texts) dan responsinya terhadap konteks tanggapan audiens, serta menentukan arti penting relevansi teks dalam konteks kontemporer. Sedemikian, sehingga ditemukan “makna baru” yang dibutuhkan. Yakni, makna baru yang sesuai dengan kebutuhan dan konteks partikular (sosial-politik-keagamaan) Afrika Selatan.
Dalam bahasa yang lebih mudah, teori hermenutika Esack pertama kali didasarkan atas pembacaannya terhadap realitas praksis. Ketika realitas tersebut harus dirubah, karena terjadi ketimpangan, maka disana dicarikan justifikasinya dari ayat-ayat, karena semangat teks sesunguhnya adalah pembebasan dari ketimpangan. Ayat-ayat dimaknai secara baru untuk mendukung gagasan dan upayanya dalam memberikan perubahan social masyarakat sesuai dengan élan vital al-Qur’an sendiri. Inilah rumusan khas hermeneutika Esack yang tidak ditemukan dalam hermeneutika lainnya.
E. Metode Penelitian
Esack melihat ada kekurangan pada dua pendekatan (Fazlur Rahman dan Mohammad Arkoun). Pendekatan Rahman, menurutnya, kurang apresiasi atas kompleksitas tugas hermeneutika dan pluralisme intelektual yang intrinsik di dalamnya. Rahman lebih menyesalkan ketundukan islam pada politik daripada nilai-nilai Islam sejati yang mengendalikan politik, tanpa mengakui dialetika antara keduanya. Ia terlalu menekankan kriteria kognisi dan mengabaikan hubungan antara kognisi dan praksis. Ketika rahman mengklaim elan moral dasar al-Qur’an-kesadaran akan Tuhan dan keadilan sosial-Ia lupa akan sebab-sebab struktural dari ketidakadilan
Sementara itu, kritik Esack pada Arkoun lebih ditujukan pada pendapatnya yang menyatakan bahwa pengetahuan sebagai lapisan otoritas diterima dan dihargai, pengetahuan terlepas dari ideologi, mampu menjelaskan formasi dan menguasai pengaruhnya. Menurut Esack, pengetahuan sebagaimana alat sosial lainnya, disamping dapat dikritik, juga tidak pernah dapat netral setiap hermeneutika membutuhkan partisanship secara sadar ataupun tidak.
Esack ingin menutupi kekurangan-kekurangan Rahman dan Arkoun, dengan menawarkan Hermeneutika pembebasannya. Ia yakin bahwa tugas muslim memahami al-Qur’an dalam konteks penindasan ada dua hal: untuk memaparkan cara interpretasi tradisonal dan kepercayaan-kepercayaan tentang fungsi teks sebagai ideologi dengan tujuan untuk meligitimasi tatanan yang tidak adil, untuk mengakui kesatuan umat manusia, menggali dimensi-dimensi keagamaan dalam situasi ketidakadilan dari teks dan mempergunakannya untuk melakukan pembebasan. Dimensi teologis ini secara simultan membentuk dan dibentuk oleh aktivitas islamisis dalam perjuangan demi keadilan dan kebebasan.
Esack mencari dimensi teologis dalam konteks politik tertentu tidak mengimplikasikan bahwa memandang politik sebagai satu-satunya dimensi iman dan bahwa teks bernilai hanya jika berkaitan langsung dengan kepentingan politik. Esack melihat ada 3 unsur intrinsik dalam proses memahami teks: Pertama, masuk dalam pikiran pengarang. Dalam kasus al-Qur’an, Tuhan dipandang sebagai pengarang. Muslim perlu masuk ke dalam pikiran Tuhan. Dalam tradisi mistik islam, terdapat metodologi kesalehan yang dikombinasikan dengan keilmuan untuk melahirkan makna.
Oleh karena itu, Tuhan berperan langsung dalam pemahaman teks, yang lain menjadikan muhammad sebagai kunci dalam melahirkan makna. Bagi Rahman dan kaum tradisionalis, makna terletak di dalam teks dan dapat digali oleh “pikiran murni.” inilah yang disebut pendekatan personal. Problem sebenarnya adalah bagaimana menerapkan pendekatan ini secara sadar pada arena sosio-politik atau domain moralitas publik dengan cara tertentu. Kedua, partsipasi aktif penafsir dalam melahirkan makna mengimplikasikan bahwa menerima teks dan mengeluarkan makna darinya tidak ada pada dirinya sendiri. Menerima dan menafsir, dan makna adalah selalu parsial. Setiap penafsir memasuki proses interpretasi dengan pra-pemahaman tentang persoalan yang dikemukaan teks. Makna selalu berada dalam struktur pemahaman itu sendiri. Jadi, “Tak ada interpretasi tak berdosa, tak ada penafsir tak berdosa, dan tak ada teks tak berdosa”. Pra pemahaman adalah syarat hidup sejarah.
Kita perlu membedakan antara diri dengan kondisi dimana diri itu berada. Mengabaikan ambiguitas bahasa dan sejarah serta dampaknya pada interpretasi, menyebabkan tak ada perbedaan antara islam normatif dan apa yang dipikirkan orang beriman. Ketiga, Interpretasi tidak lari dari bahasa, sejarah dan tradisi. Makna literal dari suatu ucapan selalu problematik dan tidak pernah bebas nilai. Ini khususnya berkaitan dengan ucapan simbolik dan suci. Pluralitas bahasa dan ambiguitas sejarah tak dapat dihindarkan dalam upaya memahami. Problem bahasa tak terbatas pada penafsir tapi juga meluas pada tradisi atau teks yang ditafsirkan.
Kunci hermeneutik pembebasan dimunculkan dari perjuangan Afrika Selatan demi kebebasan dan al-Qur’an. Dalam hal ini Esack mencoba mengelaborasi kata-kata kunci: taqwa, tauhid, al-naas, al-mustad’afun, ’adl dan qist, serta jihad.
Taqwa adalah terma yang paling komprehensif, inklusif dan aplikatif meliputi tanggung jawab di hadapan Tuhan dan manusia (QS 92: 4-10 dan 49:13). Dengan taqwa, individu dan pembebasan (QS. 3: 102: 8:29). Menerima taqwa sebagai kunci hermeneutika memiliki implikasi penting bagi penafsir dan tindakan menafsir, Pertama, penafsir harus terbebas dari pra-sangka (dhan) dan nafsu (hawa).
Hermeneutika pembebasan al-Qur’an, dengan taqwa sebagai kunci, memastikan intrepetasi bebas dari obseurantisme teologi dan reaksi politik serta spekulatif subjektif. Kedua, Taqwa memfasilitasi keseimbangan estetik dan spiritual dalam kehidupan penafsir. Ketiga, Taqwa mendorong komitmen penafsir pada proses dialektika personal dan transformasi sosio-politik. Keterlibatan al-Qur’an dalam proses perjuangan revolusi juga berarti keterlibatan diri penafsir dalam revolusi tersebut.
Tauhid, kesatuan tuhan untuk kesatuan manusia. Tauhid adalah fondasi, pusat dan tujuan dari keseluruhan tradisi Islam. Ia adalah jantung pandangan dunia sosio-politik, dan tumbuh secara meyakinkan dalam revolusi iran 1979. Konteks perjuangan pembebasan tidak hanya memiliki sesuatu untuk dikatakan pada teks, teks juga hanya memiliki sesuatu untuk dikatakan pada konteks (ketidakadilan dan penindasan di Afrika selatan).
an-Nas dapat diartikan sebagai suatu kelompok social, al-Qur’an menempatkan manusia dalam suatu dunia tauhid, dimana Tuhan manusia, menampilkan harmoni yang penuh makna dan tujuan. al-Qur’an mengatakan Tuhan memilih manusia sebagai wakil dan pembawa amanatNya dibumi (al-Baqarah:30).
Konsep manusia sebagai wakil dan pembawa amanat terefleksi dengan kesasdaran masyarakat afrika selatan yang telibat melawan aphartaid. Disamping itu juga membawa dua implikasi hermeneutik, pertama, memberikan arti penting untuk menafsirkan al-Qur’an yang memberikan dukungan kepada masyarakat secara keseluruhan (terutama yang tertindas), kedua, penafsiran al-Quran semestinya dibentuk dari pengalaman dan apresiasi suatu keadaan masyarakat.
Mustadh’afun mempunyai makna orang yang tertindas dari segi sosioekonomi yang disebabkan oleh pihak yang lain. Mereka ini merupakan golongan yang memperoleh hak yang istimewa dalam al-Qur’an. Maka dari hal ini penafsir perlu menempatkan diantara kaum tertindas ataupun dalam perjuangan mereka,serta menafsirkan dalam permukaan sejarah serta dilandasi keutamaan mereka dalam pandangan ilahi dan kenabian.
Dalam situasi ketidakadilan, al-Qur’an dipaksa menjadi alat ideologis bagi perlawanan atas penindasan dalam seluruh manifestasinya. Ini mempunyai dua implikasi. Pertama, kita harus mencari jalan mendekati Al-Qur’an untuk digunakan melawan ketidakadilan: netralitas dan objektifitas dalam konteks ini adalah dosa. Kedua, pendekatan terhadap al-Qur’an sebagai alat perlawanan menghendaki komitmen ideologis dan teologis sekaligus afinitas atas nilai-nilai yang dikandung dalam kunci-kunci hermeneutika.
Dalam pandangan fundamintalis islam perempuan tidak mempunyai hak untuk tampil pada sector public, hal ini seolah-olah dibenarkan oleh agama melaui kitap sucinya. Seperti hadist nabi saw “arrijalu qowamun al an-nisa’, (laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan) dalam hadis lain yang artinya, tidak akan beruntung suatu kaum jika diurusi oleh perempuan”. Hal ini menurut fuqaha menjadi hadis justufikasi pelarangan perempuan untuk menjadi pemimpin.
Hal ini pernah terjadi dan terus terjadi di Indonesia, ketika megawati untuk didaulat oleh MPR pada saat itu para ulama mengluarkan fatwa bahwa perempuan dilarang oleh agama menjadi pemimpin, tentu tanpa piker panjang “umat” langsung mengikutinya. Para “ulama” dalam kasus ini nampaknya kehilangan rasa keadilan, sebagaimana Allah berkata: sesungguhnya allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruhmu berbuat menetapkan hokum diantara manusia dengan adil…. (QS.4:58). Ini terjadi karena ulama dalam memeahi suatu teks tidak melihat apa sebabnya ayat itu turun dan dikontekskan dalam kehidupan saat ini.
Pada hal zaman dahulu banyak perempuan mejadi pemimpin bahkan dalam perang melawan kemerdekaan. Serta meraka turut andail dalam memerdekakan agama ini tanpa banyak orang yang protes. Meminjam bahasa Esack dengan hermeneutika pembebasannya, teks merupakan benda mati yang tidak dapat berbuat apa-apa, yang dapat berbuat adalah author dalam memahami teks dikontekskan dalam kehidupan sejarah dahulu dan direinterpretasi dalam kehidupan sekarang, sehingga dapat dipahami pembaca dengan tidak menimbulkan konfik.
Ulama dalam memahami kata “Qowamun” dari gambaran diatas tidak memperhatikan teks dan konteks pada zaman dahulu baru kemudian dikontekskan pada saat ini. Hadis itu diucapkan oleh nabi ketika ada pemimpin dari Persia yang tidak memiliki kecakapan dalam memimpin/tidak cakap dalam kepemimpinannya, sehingga kata itu lebih tepat dimaknai adlah kemampuan, sehingga pada saat ini baik laki-laki atau perempuan dalam menjadi pemimpin disuatu Negara, sehingga lambat-laun bias gender dalam kepemimpinan akan terkikis.
F. Ruang Lingkup Penelitian
Farid esack mencoba mengkaitkan antara jalan Tuhan mengidentikkan diri dengan kemanusiaan (al-Naas), hubungan antara jalan tuhan dan jalan kemanusiaan, pilihan-Nya atas manusia tertindas dan marginal dan pentingnya menegakkan keadilan (‘adl dan qist) atas dasar tauhid dan taqwa melalui jihad. Melibatkan diri dalam hermeneutika pembebasan al-Qur’an dalam situasi ketidakadilan adalah melakukan teologi dan mengalami iman sebagai solidaritas terhadap masyarakat tertindas dan marginal dalam perjuangan untuk pembebasan.
G. Kontribusi Penelitian.
Hermeneutika pembebasan al-Qur’an berbeda dari teologi tradisional dan modern dalam tiga aspek. Pertama, Perbedaan terpenting ada pada tempat penafsir, penafsir menentang pendekatan yang lebih religius atau akademik terhadap teologi. Artinya, Islam hanya dapat menjadi sejati jika dialami sebagai praksis solidaritas untuk pembebasan, bertentangan dengan teologi tradisional yang mereduksi Islam menjadi ritus formal, dan teologi modern yang berada dalam dunia sekuler. Teologi pembebasan berada dalam dan dialamatkan pada dunia marginal. Kedua, Teologi pembebasan hidup dalam dunia “kekerasan dan harapan, refleksi dan tindakan, spiritualitas dan politik. Ketiga, kebenaran bagi penafsir yang terlibat, tidak pernah dapat menjadi mutlak. Gerak hermeneutika secara terus menerus mencari kebenaran yang pada akhirnya membawa pada praksis pembebasan yang lebih besar.
H. Sistematika Penulisan
Farid Esack memulai penulisannya dalam karyanya, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspektive of Interreligious Solidarity againts Oppression, mengungkapkan kegelisahan intelektualnya tentang kondisi masyarakat Afrika Selatan yang kesulitan mereka mengeksplorasi dan menginterpretasi gagasan al-Quran yang sesuai dengan konteks masyarakat Afrika Selatan yang mengalami penindasan dan ketidakadilan.
Pada bagian berikutnya menguraikan tentang kata-kata kunci untuk memahami hermeneutika pembebasan yang terdiri dari taqwa, tauhid, adl dan qist, jihad serta mustadh’afun. Kata kunci tersebut didefinisikan, dikontekstualisasikan sebagai perangkat untuk mempelajari al-Qur’an dalam suatu masyarakat yang mengalami penindasan dan perjuanangan untuk meraih kemerdekaan.
Bagian akhir penelitan ini memuat tentang bagaimana al-Qur’an memandang orang lain dalam situasi dan kontaks dan lingkunagan terdekatnya. Dalam hal ini al-Qur’an menggambarkan bahwa adanya kerjasama antar agama yang dinamis dalam usaha pembebasan Afsel dari penindasan dan ketidakadilan
Daftar Pustaka
Esack Farid, Al-Quran Liberalisme Dan Pluralisme: Membebaskan Yang Tertindas, Bandung, Mizan, 1997

0 comments:

Posting Komentar