Tidak semua orang berani bicara
jujur terhadap apa yang dilihat dan harus disampaikan. Hidup adalah pilihan.
Ada
banyak pilihan untuk berdusta, tapi satu pilihan saja untuk jujur. Seorang anak
SD yang nilai ulangannya hancur, akan dihadapkan pada berbagai pilihan tadi. Pertama, bias saja dia merobek hasil
ulangan, membuang di tempat sampah dan mengatakan kepada orang tuanya bahwa
ulangan belum dilaksanakan. Atau, kedua, bisa
juga setibanya di rumah, dia mengatakan bahwa mendapat nilai yang bagus, namun
sang guru tidak membagikan hasil ulangannya. Banyak sekali, bukan pilihannya! Ketiga, keempat, dan seterusnya.
Kondisi
berbeda akan dia hadapi jika memilih untuk jujur. Dalam hal ini, maka tak ada
pilihan baginya, kecuali mengatakan apa adanya. “Bu/Pak, maaf, nilai ulangan
saya jelek. Ibu/Bapak jangan marah, ya,” begitu pilohan satu-satunya. Tidak ada
pilihan yang lain.
Mengembalikan genuine character
Jujur adalah genuine character manusia. Sayangnya, sekarang banyak manusia yang
justru kehilangan karakter aslinya.
Pernah
melihat sirkus? Dalam pertujunkan tersebut, dapat dilihat seekor singa yang
sangat penurut ketika diperintahkan melompati lingkaran api, harimau yang tak
malu-malu berbaris sambil sesekali mengangkat kedua kaki depa, atau beruang
yang begitu pandai mengendarai sepeda. Jika pernah menyaksikan berbagai atraksi
tadi, apa yang dipikirkan untuk pertama kalinya? Terkagum-kagum melihat polah
berbagai binatang tersebut atau justru merasa aneh?
Apapun yang dipikirkan, semua memang
terserah kepada pribadi masing-masing. Hanya saja, yang perlu disadari, bahwa
“kepintaran” berbagai binatang buas tersebut menghibur, sejatinya tak lepas
dari adanya metamorphosis karakter yang dialami binatang itu sendiri. Singa
yang sesungguhnya adalah binatang buas yang ber-genuine character galak dan liar, mendadak menjadi teramat jinak
dan mudah diperintahkan untuk melakukan sesuatu yang lucu. Begitu juga dengan
semua binatang buas lain dalam sirkus tersebut.
Tetapi, bukan hanya binatang yang memiliki
genuine character. Manusia juga
serupa. Hanya saja, jika genuine
character singa dan harimau memiliki adalah buas, lantas apa karakter asli
manusia? Tak lain, jawabannya adalah jujur.
Jujur adalah fitrah, genuine character tadi. Manusia tidak
hanya memiliki karakter asli tersebut, namun juga membutuhkan kejujuran dalam
kehidupan mereka. Sayangnya, kejujuran sekarang seolah-olah menjadi barang
langka. Maraknya kasus korupsi, kecurangan dan kebohongan seperti menjadi
bagian dari kehidupan manusia sendiri. Manusia tidak sadar bahwa semua itu
sesungguhnya merupakan karakter yang bermetamorfosis dalam diri mereka, yang
mampu menggerus genuine character yang
mereka miliki. Akibatnya, manusia pun menjadi sebuah lelucon bagi manusia lain
yang melihatnya. Persis seperti sirkus tadi.
Tidak ada yang menginginkannya,
bukan? Tentu saja. Untuk itulah manusia harus sadar bahwa mereka bukan sirkus.
Manusia hidup di dunia nyata, bukan dunia sirkus yang menjadikan mereka sebagai
bahan tontonan. Maka, agar tidak menjadi lelucon, tidak ada jalan lain bagi
manusia, kecuali harus kembali kepada genuine
character yang dimiliki.
Akar Karakter
Jujur, tentu bukan satu-satunya
karakter yang dimiliki manusia. Sebab, karakter manusia yang sebenarnya teramat
beraneka ragam. Hanya saja, tidak dipungkiri, jujur merupakan akar karakter
yang merupakan sumber dari segala sumber kemuliaan manusia.
Meski jujur merupakan genuine character manusia, namun karena
telah terkontaminasi dengan lingkungan
yang beragam pula, maka untuk membangunnya
perlu dilakukan exercise. Latihan
tersebut penting untuk menguji seberapa besar kejujuran seseorang.
Sebagai ilustrasi, seseorang yang
senantiasa menyuarakan antikorupsi, harus teruji apakah dia benar-benar
antikorupsi atau karena kesempatan yang belum memungkinkan untuk melakukan
korupsi. Ibaratnya, jangan sampai dia bersuara lantang, padahal menjadi
bendahara organisasi saja belum pernah.
Atau memberlakukan kantin kejujuran.
Sebuah kantin yang menjajakan berbagai jenis makanan dan minuman. Semua siswa
bisa mengambil makanan semaunya dan setelah memakannya tinggal membayar apa
yang telah dimakan tadi di kasir. Ini akan mengetahui seberapa besar kejujuran
yang mereka miliki dengan mengatakan berapa jumlah makanan yang dimakan.
Jadi, memang harus ada media untuk
menguji semua itu. Dan diantara sekian banyak ujian tersbut, pendidikan adalah
tempat ujian dan latihan kejujuran yang paling memumpuni. Dunia pendidikan
tidak hanya melatih kejujuran siswa, namun juga guru. Melalui pengawasan
tentunya, karena latihan ini tidak bisa dilepas begitu saja. Melalui mekanisme
tersebut, diharapkan akan muncul insan-insan negeri ini, yang memiliki karakter
jujur yang kuat.
Implementasi
Lalu,
bagaimana implementasi yang dilakukan untuk membangun karakter jujur tersebut.
Ada dua pendekatan yang dilakukan. Pertama,
mengintegrasikan ke dalam kurikulum. Dan kedua, melakukannya dalam bentuk school culture.
Untuk pendekatan pertama, salah satu
caranya adalah melalui kerja sama dengan KPK, karena KPK merupakan lembaga yang
memiliki kewenangan, otoritas, symbol, dan sebagainya terkait akibat
ketidakjujuran. Hal ini bisa dimengerti, karena korupsi itu sendiri merupakan
akibat dari ketidakjujuran. Sedangkan pelaksanaannya, memasukkan modul tersebut
ke dalam sub-bahasan mata pelajaran yang berkaitan.
Sementara pendekatan kedua dilakukan
karena tak dipungkiri, sebenarnya sulit menterjemahkan kejujuran tersebut.
Untuk itu, maka agar tidak menjadi lelucon, tidak adajalan lain bagi manusia
kecuali harus kembali pada genuine
character yang dimiliki. Manusia harus sadar bahwa mereka hidup di dunia
nyata, bukan sirkus. Salah satu upaya yang ditempuh adalah dengan menerjemahkan
melalui perilaku sehari-hari. Misalnya kantin kejujuran tadi. Memang selayaknya
sebuah eksperimen, tidak semua school
culture semacam itu berhasil. Bagaimana pun, adanya kecurangan atau
ketidakjujuran di satu tempat tidak lantas menjadikan pola pendekatan tersebut
terhenti secara keseluruhan.
Pengelolaan dana Bantuan Operasional
Sekolah (BOS) dan pelaksanaan Ujian Nasional (UN), adalah contoh lain. Dalam
pengelolaan BOS, misalnya, setiap sekolah diberi kewenangan mengelola sejumlah
dana, sesuai dengan anggaran yang diajukan. Ujiannya adalah, apakah setiap
sekolah mampu mengemban amanah pengelolaan tersebut ataukah tidak, sesuai
dengan petunjuk penggunaan yang telah diberikan.
Begitu pula dengan pelaksaan UN yang
melibatkan kurang lebih empat juta peserta diseluruh Indonesia tahun kemarin. Dalam
hal ini, kejujuran setiap elemen yang terlibat di dalamnya juga diuji, termasuk
guru, siswa, pengawas, dan sebagainya.
Memang, tidak mudah untuk
menjalaninya, itu harus diakui. Namun seumpama permainan sepak bola, jika ada
pemain yang melanggar, maka akan dikenakan peringatakan, kartu kuning, atau
kartu merah. Adanya pelanggaran, tidak serta-merta meniadakan pertandingan itu
sendiri.
Begitulah jujur, yang merupakan genuine character manusia. Sebagai
sebuah fitrah, manusia akan merasakan betapa nikmat berbuat jujur. Bahkan, jika
sudah kepalang tak jujur sekalipun dan kemudian harus menanggung akibatnya
karena tak ada dusta yang tak terhakimi, maka jujur pada tahap selanjutnya
merupakan pilihan yang baik.
Seorang kouptor yang tertangkap KPK,
misalnya, seluruh proses hukum akan berjalan lancar jika disertai dengan
kejujuran. Hal itu bisa dilakukan, misalnya dengan mengaku terus terang atas
perbuatan korupsinya, termasuk jumlah, motivasi, modus dan dengan siapa saja korupsi
dilakukan. Jika itu pilihannya, maka tak akan persidangan berbelit-belit yang
termasuk membayar mahal pengacara.
Pilih yang mana? Masih adakah yang
memilih menjadi tontonan dan lelucon semacam sirkus? Maka, berbuat jujurlah.
Karena sesungguhnya tidak ada kejujuran yang sia-sia dan tak ada dusta yang tak
terhakimi.
0 comments:
Posting Komentar