Indonesia dikenal sebagai bangsa
yang berbudaya dan memiliki akar agama yang kuat. Ke mana biduk negeri ini
melaju, jika agama dan budaya dipakai sebagai pendekatan dalam memberantas
korupsi?
Enam
puluh tujuh tahun sejak kemerdekaan diproklamasikan, benarkah Indonesia sudah
“merdeka”? Pertanyaan ini kerap dimunculkan karena berbagai fakta menunjukkan
bahwa masih banyak penduduk negeri ini yang terkingking dalam penderitaan,
terutama kemiskinan dan kebodohan, selayaknya ketika Indonesia belum merdeka.
Penyebabnya, apalagi kalau bukan korupsi yang masih juga merajalela dan bahkan
benar-benar sudah membudaya.
Kondisi ini tentu memprihatinkan.
Karena, cita-cita the founding fathers adalah
agar negeri ini makmur sejahtera dan penuh jeadilan. Sebagaimana termaktub
dalam pembukaan dan pasal 33 UUD 1945, dengan jelas bisa dilihat bahwa
kesejahteraan harus bisa dinikmati oleh semua rakyat Indonesia. Tidak hanya
dinikmati sekelompok orang.
Namun, apa yang terjadi? Seiring
pembangunan yang dilakukan untuk mengisi kemerdekaan, ternyata cita-cita itu
belum juga kesampaian. Alhasil, gemah
ripah loh jinawi hanya mimpi dari sebagian orang.
Lalu, bagaimana agama dan budaya
melihat korupsi, yang menurut sebgaian orang yang sudah menjelma dari sekadar
kebiasaan menjadi budaya? Di sisi lain,
benarkah salah satu pemberantasan korupsi yang cukup efektif, ya melalui
pendekatan agama dan budaya itu tadi?
Dari Masa ke Masa
Sebenarnya,
bagaimana asal mula korupsi itu sendiri? Benarkah berkaitan erat dengan budaya?
Sulit untuk menelisik. Yang jelas, korupsi bermula ketika seseorang terjebak
pada keinginginan untuk hidup dalam berkelebihan (atau bahkan hidup mewah)
namun tidak didukung pendapatan yang seimbang. Korupsi merupakan keserakahan
untuk memperoleh sesutau padahal sesutau itu sudah jelas bukan haknya.
Begitulah. Korupsi adalah fenomena
yang berkembang dan terstruktur secara sadar dalam kehidupan manusia
bermasyarakat dan bernegara. Korupsi sebagai sebuah kenyataan telah mengambil
tempat dalam kehidupan manusia dari masa ke masa.
Dari masa ke masa? Ya, karena memang
banyak catatan sejarah menunjukkan bahwa korupsi memang sudah dilakukan manusia
sejal dahulu kala. Dimana dipaparkan Semma (2008), misalnya, yakni Mesir
terperangkap dalam korupsi pada zaman Fir’aun. Selain itu, juga adanya Raja
Hammurabi dari Babilonia kepada aparaturnya pada 1200 SM, untuk menyelidiki
masalah penyuapan. Juga Raja Shamash dari Asiria abad ke-2 SM menghukum hakim
yang menerima uang suap. Sedangkan dari dunia Islam, Syah Waliyullah pernah
menggambarkan bahwa pemerintahan Islam sepeninggal Rasulullah SAW. juga
dijanggiti korupsi (Ayub 2004).
Dari berbgai paparan tersebut,
jelaslah bahwakorupsi merupakan fenomena yang telah menyejarah dalam perjalanan
berbagai bangsa. Bahkan menurut Muchtar Lubis (1985), usia korupsi sama tuanya
dengan peradaban manusia, sehingga korupsi telah berakar jauh ke masa silam.
Indoneisa
Bagaimana
dengan sejarah korupsi di Indonesia? Sangat mencengangkan, karena korupsi
ternyata tidak kalah mengakar.
Frans Magnis suseno, misalnya yang
mengatkan bahwa pada masa lampau, penjajah juga turut memberi dampak pada
budaya korupsi. Frans tidak sendiri. Bank Dunia (1997) juga sependapat bahwa
korupsi yang berkembang dewasa ini merupakan warisan kondisi
historis-struktural akibat represi yang dilakukan oleh penjajah. Namun
demikian, hal itu tidak bisa dibenarkan secara mutlak jika ada upaya
pemberantasan korupsi secara seirus, bahkan menjadi komitmen seluruh pemimpin
bangsa ini.
Dalam pemikiran Frans, mestinya
Indonesia bisa merdeka seluruhnya tatkala struktur organisasi Negara dalam
keadaan baik dan program-program pembangunan nasional yang kongkret dan terukur
untuk mewujudkan tujuan dibentuknya negara, yakni tercapainya kesejahteraan
ekonomi, keadilan social, dan perdamaian dunia.
Struktur di Indonesia telah
diciptakan untuk menjadi koruptif, karena ada struktur yang membiarkan praktik
korupsi merajalela. Inilah yang kemudian yang menimbulkan budaya koruptif tadi.
Hal inilah yang sering disebut orang sebagai Republik Drakula, yaitu segala
struktur di dalam republic tersebut justru menjadi para penghisap darah yang
menggerogoti habis segala sendi-sendi dalam negara tersebut.
Bukan Sebatas Ritual
Ada pertanyaan menggelitik yang
kerap dilontarkan. Pertanyaan itu tak lepas dari berbagai fenomena yang
terjadi, termasuk setelah mengetahui sejarah korupsi di Indonesia tadi. Singkat
saja, “Bisakah agama dan budaya berperan dalam pemberantasan korupsi?”
Sangat tidak mudah menjawabnya. Yang
jelas, sesungguhnya penderitaan, kemiskinan, dan ketidakadilan yang menimpa
kehidupan rakyat, tidak bisa diatasi hanya dengan ritual dan upacara
seremonial, tetapi oleh komitmen dan tindakan politik-ekonomi yang secara
nyata-nyata berpihak kepada kaum yang lemah.
Fenomena money politics terus membayangi kehidupan politik Indonesia, sejak
pemilukada di berbagai daerah, bahkan pemilu tingkat nasional. Politik menjadi
medan kapital untuk memainkan bisnisnya, karena di balik para calon selalu ada
kekuatan kapital yang mendukungnya. Dan pada akhirnya, kapital harus
dikembalikan setelah pemilu dimenangkan oleh calon yang didukungnya.
Inilah yang kemudian melahirkan
pemimpin yang kerdil dan miskin mora. Pemimpin yang demikian ini pula yang
membawa negeri ini diisi oleh pejabat-pejabat yang korup dan ambisius.
Setelahnya, rakyat menyoroti kaum
cendikia dan ulama seolah mereka tinggal diam saja. Dan secara kasarnya
merekalah yang harus cuci piring seusai koruptor berpesta. Padahal, ulama tidak
punya kuasa untuk mencegah dan menghukum koruptor selain negara sendiri,
melalui penegak hukumnya.
Dalam konteks demikian, maka bisa
ditebak bahwa pemberantasan korupsi menjadi semakin sulit. Alasannya, karena
pelakunya adalah kelompok, bukan pemain individual. Dan biasanya korupsi
berjamaah akan menguatkan rezim yang berkuasa. Rezim memiliki cukup kekuatan
untuk melanggengkan kekuasaannya.
Budaya atau Bukan?
Bung Hatta, dengan tegas pernah
mengatakan bahwa korupsi sudah menjadi budaya bangsa ini. Hal ini beliau
ungkapkan karena sudah sangat meluasnya praktik korupsi di negeri ini, utamanya
dikalangan penguasa.
Meski banyak orang Indonesia sendiri
menolak bahwa korupsi adalah budayanya, namun kenyataannya, praktik korupsi
menyentuh semua lini kehidupan. Dan bahkan korupsi saat ini sudah sangat akut
dan membahayakan integritas bangsa.
Sebagai pembawa amanat Allah, amanat
keadilan dan kemaslahatan segenap rakyat, Pemerintah berkewajiban untuk
menegakkan ketertiban umum, melindungi keamanan seluruh rakyat, dan menegakkan
keadilan bagi kemaslahatan semua pihak, tanpa membedakan warna kulit, suku
bangsa, golongan maupun keyakinan agamanya, termasuk di dalamnya dalam
mensejahterakan rakyat dengan menggunakan uang negara yang dikutip dari pajak
rakyatnta.
Dalam pandangan Islam, karya Masdar
dalam tulisannya bertajuk Korupsi dalam
Perspektif Budaya dan Syriat Islam, uang pajak adalah uang Allah SWT. yang
diamanatkan kepada negara untuk ditasarufkan sejujur-jujurnya sesuai dengan
petunjuk-Nya. Pajak harus dibelanjakan untuk kemaslahatan segenap rakyat. Yang
harus diberi prioritas adalah kaum fakir dan miskin tanpa membedakan agama, ras
ataupun suku.
Dikatakan pula bahwa Allah SWT.
telah berfirman: “Sungguh segala macam sedekah (yang secara mengikat dipungut pemerintah,
yakni “pajak” adalah untuk kepentingan 1) kaum fakir, 2) kaum miskin, 3) amilin
pajak, 4) orang yang dalam proses penyadaran kembali, 5) kaum tertindas, 6)
yang tertindih utang, 7) kepentingan umum dan penegakan keadilan, 8) anak
jalanan…sesuatu ketetapan dari Allah. Allah Maha Tahu lagi Maha Bijaksana.”
(At-Taubah: 60).
Dengan demikian, dalam pandangan
Islam, uang negara yang bersumber pada pajak hakikatnya adalah uang Allah yang
diamanatkan pada negara untuk di-tasharuf-kan
(dibagi-bagikan) sebesar-besaarnya bagi kemaslahatan seluruh rakyat, tanpa
diskriminasi apapun. Setiap rupiah dari uang pajak (juga setiap titik kekuasaan
yang dibiayai dengan uang pajak) harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat (di
dunia).
Ya, itulah. Pada akhirnya kita semua
tahu betapa kompleksnya kehidupan manusia dan perbuatannya. Tidak ada teori
tunggal yang dapat mengungkap hakikat tindakannya, juga praktik korupsi marak
dalam kehidupan masyarakat kita. Juga tidak ada satu resep untuk mengobati dan
menyembuhkannya. Berbagai jalan harus ditempuh dengan penuh kesadaran bahwa
satu dan yang lain saling melengkapi dan memerlukan. Yang paling penting, di
atas segalanya adalah kesungguhan mengikhtiarkannya.
Kalaupun sekarang masyarakat
menunggu peran agama dan budaya dalam pemberantasan korupsi, marilah didukung.
Sebagaimana dukungan terhadap masyarakat yang menunggu pula peran seluruh
elemen dan kekuatan negeri ini untuk bersama-sama memberantas korupsi.
0 comments:
Posting Komentar