Problem
korupsi memang sangat sulit dimengerti hanya dari satu sudut pandang. Semua
agama melarangnya.
Bangsa
Indonesia memang tidak sedang berperang untuk membebaskan diri dari kungkungan
kekuasaan penjajah yang ingin menguasainya. Namun, dalam konteks kekinian,
bangsa Indonesia tengah bergulat dengan perjuangan berat melawan korupsi.
9
Desember 2012 kemarin merupakan hari peringatan Hari Anti korupsi. Sejumlah
praktisi, mahasiswa pun turut menyuarakan aspirasi mereka supaya masyarakat
menjadikan peringatan Hari Anti Korupsi
sebagai momentum untuk meningkatkan kejujuran. Dengan
meningkatnya kejujuran diharapkan masyarakat, pejabat atau pihak-pihak yang
berpotensi melakukan penyelewengan uang negara lebih mawas diri dan menghindari
praktik kolusi, korupsi dan nepotisme.
Merajalelanya
korupsi adalah persoalan yang tidak bias dipandang sebelah mata. Persoalan itu
sama beratnya dengan persoalan kematangan social tertentu yang belum tercapai.
Bangsa ini masih lemah dalam mengatasi pluralitas bangsa, serta kecenderungan
reaksi social yang masih condong menggunakan kekerasan adalah buktinya.
Kekerasan komunal menandakan penanganan konflik kepentingan yang hakiki dalam
Negara demokrasi yang berkembang masih susah ditangani.
Ketidakadilan
dan kekerassan komunal terjadi karena tidak adanya saluran yang tepat dalam
mengungkapkannya. Hal ini bisa diakibatkan karena rakyat masih condong
dijadikan objek semata oleh kekuasaan. Kekuasaan yang mana? “ kekuasaan yang
koruptif” tentunya.
Elite
ekonomi dan politik yang masih koruptif adalah pemicunya. Dan hal ini bisa juga
merupakan warisan feodalisme kolonial masa lalu. Feodalisme dan kapitalisme
adalah sumber korupsi yang pada masa Soekarno sudah diidentifikasi, dan
sekarang pun masih ada dan masih mengancam. Pasalnya koalisi elite-elite
politik dan ekonomi masih berkaitan.
Sampai
saat ni, kongkalikong antara konglomerat dan elite politik pun masih kuat.
Namun, meski demikian problem korupsi memang sangat sulit dimengerti hanya dari
satu sudut pandang saja. Selain sudut pandang kenyataan bahwa ada dana-dana
yang tidak digunakan sesuai aturan, juga ada latar belakang bangsa ini yang
senang membalas budi, juga pragmatism-pragmatisme lainnya. Apa itu? “ya,
misalnya saja, seperti pragmatism pembangunan yang kosong”.
Salah
satu yang cukup mengkhawatirkan adalah adanya otonomi daerah. Otonomi daerah di
satu sisi bisa memicu perkembangan ekonomi daerha, namun di sisi lain malah
akan memberikan peluang semakin mudah daerah mengatur uangnya sendiri. Dengan
demikian, maka potensi korupsinya juga semakin terbuka.
Korupsi
negeri ini memang belum ditangani secara serius oleh seluruh elemen bangsa.
Bahkan diperburuk dengan kondisi struktur-struktur organisasi yang tidak
memadai, hokum tidak dijalankan dengan baik, lembaga yudikatif tidak dipercayai
public. Padahal problem korupsi dampaknya sangat luas, bahkan bersentuhan
langsung dengan rakyat, misalnya jalan nasional sebagai urat nadi perekonomian
bangsa bisa mengalir hingga ke pelosok nusantara yang rusak lebihcepat dari
seharusnya karena korupsi.
Sudah
jelas hal demikian memprihatinkan. Apalagi semua tahu bahwa korupsi adalah
kejahatan yang semua agama melarangnya. Dan secara khusus terdapat tiga etika
yang berlaku, yakni korupsi sama dengan mencuri, korupsi adalah tidak jujur,
dan korupsi adalah tidak bertanggung jawab atau lari dari kewajiban
menghasilkan hal-hal terbaik bagi bangsa.
Dengan
kata lain, Tuhan melarang keras yang namanya korupsi, yang merupakan perbuatan
yang tidak bermoral. Perang melawan korupsi sebenarnya bukan hanya problematika
di Indonesia. Di Negara maju pun ada. Misalnya Jerman yang dulunya koruptif,
sekarang sudah punya system audit yang sangat bagus yang bisa menekannya,
kemudian fungsi control pers juga ketat.
Yang
jelas perlu diingat oleh kita semua, bahwa kalau ingin menyimpan mayat jangan
dilemarai, karena lemari adalah benda yang sutau ketika akan dibuka. Pesan
moral yang ingin disampaikan adalah bahwa jangan pernah berbuat korupsi, karena
sepandai-pandainya seseorang menyembunyikan bangkai, pasti akan tercium juga..
Korupsi
secara etis harus dicela dengan dua alasan. Pertama,
setiap rupiah yang diperoleh secara korup adalah uang curian. Setiap
koruptor adalah pencuri. Dan kedua, korupsi
adalah ketidak adilan tingkat tinggi, karena terjadinya dengan memanfaatkan
kedudukan istimewa yang tidak dimiliki orang lain. Sebagai akibatnya korupsi
membuat orang miskin tidak bisa keluar dari kemiskinan. Korupsi adalah salah
satu kecurangan terbesar dalam kehidupan bangsa. Karena korupsi itu, orang
kecil tidak dapat hidup secara manusiawi. Karena biaya siluman yang membani
perindustrian kita, para buruh kita tidak dapat
dibayar secara wajar, ini bukan saja berarti mencurangi orang kecil,
tetapi juga membuat tidak berhasil usaha menciptakan lapangan kerja secara
produk yang bermutu. Itulah sisi terburuk korupsi. Orang maupun lembaga yang
korup tidak dapat membedakan antar yang benar dan yang salah. Itu fatal. Garis
jelas antara kemanusiaan yang wajar dan sikap penjahat menjadi kabur. Orang
terbiasa menipu, mencuri, main curang, dan tidak bertanggung jawab.
Dosa itu vertical, korupsi itu
pidana
Indonesia adalah negeri berjuta
paradox. Tempat ibadah banyak berdiri, namun korupsi merajalela, segerinya kaya
akan sumber daya alam, namun masih banyak rakyatnya hidup dalam kemiskinan.
Apakah yang salah?
Sungguh, sangat sulit menjawab. Yang
mudah hanyalah melihat. Melihat bahwa rakyat semakin menderita akibat akrobat
korupsi yang dilakukan dengan beragam modus operandi. Selain itu, mudah melihat
bahwa korupsi ternyata tidak hanay didominasi kaum adam saja, namun juga tidak
sedikit kaum hawa terlibat di dalamnya.
Apa mau dikata, itulah Indonesia.
Meskipun dengan adanya peringatan Hari Anti Korupsi yang diperingati setiap
tanggal 9 Desember, masih belum bisa dijadikan pegangan. Masyarakat masih
harap-harap cemas.
Itulah negeri jamrud khatulistiwa,
yang daya tariknya pernah membuat Belanda betah berlama-lama tinggal di
Indonesia. Itulah Indonesia yang korupsinya bagai tiada berujung.
Pertanyaannya, apakah agama tidak memiliki peran dalam memberantas korupsi? Di
mana kontribusi para pemuka agama?
Agama
adalah penyeru moral namun tidak punya kaki dan tangan. Hokum efektif
dalam sebuah negaralah yang mengatur
individu di dalamnya. Agama dengan Negara ibarat check and balances, sebagai fungsi control dan penyeimbang. Jadi,
kaki dan tangan agama itu adalah Negara. Sebagai contoh sederhana, orang Islam
Indonesia, jika hendak menunaikan ibadah ke Mekkah, harus menggunakan paspor
dan visa. Mengapa tidak langsung saja padahal sesame muslim? Jawabannya, karena
ada Negara yang mengatur supaya tertib. Selalu harus ada pranata hukum dalam
masyarakat beradab di atas individu.
Melihat
kondisi bangsa ini yang sangat rentan dengan penyakit korupsi, merupakan sebuah
kenyataan bahwa secara alamiah manusia adalah makhluk berbudi yang baik. Namun,
manusia adalah makhluk yang berpotensi korupsi, condong tergesa-gesa, tidak mau
kerja keras tapi maunya enak-enak, isltilahnya iinstant culture.
Pesan
moral agama tanpa diterjemahkan dan didukung oleh hukum positif dan instrument lembaga Negara
tak akan mampu memberantas korupsi. Begitu pun lembaga-lembaga keagamaan yang
ada, tugas mereka bukan memberantas korupsi, tetapi menyampaikan pesan moral
dan pendidikan masyarakat agar memilih jalan kebenaran dan kebaikan.
Dengan
demikian, korupsi melumpuhkan ketahanan moral bangsa secara keseluruhan.
Korupsi merusak karakter bangsa dan jati diri bangsa. Singkatnya, bangsa yang
tidak lagi tahu apa itu kejujuran tidak akan bisa maju. Bangsa yang terdiri atas
penjahat yang malas, tidak tahu apa itu kompetensi dan hanya ngiler mengambil jalan pendek to make a quick buck, adalah bangsa yang
sakit.
Satu
hal lagi, ada yang harus diubah dari mindset
manusia yang saat ini pada umumnya menilai dan menghargai orang dari yang
dia miliki bukan dari potensinya. Dalam diri manusia juga ada perasaan lebih
berharga ketika dilihat dari unsur to
have-nya daripada to be-nya.
Sadar atau tidak, ini yang memicu
potensi greedy dalam diri manusia,
yang akhirnya mencari jalan instans dengan korupsi.
0 comments:
Posting Komentar